Di pedesaan Laziqiyê, Latakia, yang dikelilingi pegunungan Kurdi, kehidupan perlahan mulai berdenyut kembali. Desa Mixêriyê, yang sempat sunyi akibat perang panjang, kini kembali dihuni oleh para pengungsi yang memutuskan pulang ke kampung halaman mereka. Setelah bertahun-tahun hidup di kamp pengungsian yang sesak, mereka memilih mendirikan tenda di samping rumah-rumah yang hancur — langkah sederhana namun penuh makna.
Pemandangan desa kini berubah. Puing-puing bangunan masih berserakan, namun di antaranya tumbuh tanda-tanda kehidupan baru. Anak-anak berlarian di antara reruntuhan, ibu-ibu menjemur pakaian di tali yang diikat di tiang kayu, sementara para ayah sibuk memperbaiki dinding rumah yang masih bisa diselamatkan.
Mereka sadar bahwa membangun kembali rumah bukan sekadar memperbaiki tembok, melainkan memulihkan harapan. Meski atap rumah kini diganti dengan kain terpal dan plastik, semangat untuk menetap di tanah sendiri jauh lebih besar daripada bertahan di pengungsian.
Warga juga mulai menghidupkan kembali ekonomi lokal dengan membuka warung kelontong sederhana. Toko kecil itu menjual kebutuhan pokok seperti garam, teh, minyak, dan roti. Di depan warung, warga sering berkumpul, bertukar cerita, dan merencanakan masa depan desa mereka.
Air bersih yang dulu sulit kini mulai mengalir kembali berkat saluran sederhana yang mereka bangun bersama. Air dari mata air pegunungan dialirkan ke tenda-tenda, menjadi sumber kehidupan bagi desa yang baru bersemi ini. Meskipun alatnya seadanya, warga merasa bangga karena hasil kerja mereka sendiri mampu membawa perubahan nyata.
Selain air, perhatian besar juga diberikan pada pendidikan. Warga sadar bahwa anak-anak mereka tidak boleh terus kehilangan waktu belajar. Sebuah tenda besar disulap menjadi ruang kelas sementara. Di sana, anak-anak duduk di atas tikar, menulis di papan kayu, dan belajar dengan semangat yang luar biasa.
Para orang tua menyadari, pendidikan adalah kunci agar generasi berikutnya tak terjebak dalam siklus penderitaan. Mereka berharap, suatu hari nanti, sekolah permanen bisa dibangun di tengah desa yang damai dan makmur.
Kehidupan sosial pun mulai tumbuh kembali. Warga saling membantu memperbaiki jalan desa yang rusak parah. Dengan peralatan seadanya, mereka menimbun lubang dan menata batu agar kendaraan bisa melintas membawa bahan makanan. Gotong royong menjadi roh kebangkitan baru di Mixêriyê.
Di antara reruntuhan, terdengar suara tawa anak-anak dan nyanyian ringan para ibu. Suara-suara itu menandakan bahwa kehidupan tidak pernah benar-benar hilang — hanya tertunda oleh perang. Kini, kehidupan itu telah kembali, lebih hangat dan penuh makna.
Meski tenda-tenda berdiri di antara puing, warga tidak menganggapnya sebagai tanda kemiskinan, melainkan simbol ketahanan. Mereka percaya, selama bisa hidup di tanah sendiri, semuanya akan terasa lebih baik dibanding hidup di kamp pengungsian yang sempit dan jauh dari akar budaya mereka.
Beberapa keluarga mulai menanam sayur-sayuran di halaman rumah. Tanah yang dulu gersang kini mulai hijau dengan tanaman tomat, mentimun, dan gandum kecil. Bagi mereka, panen nanti bukan hanya soal makanan, tapi juga bukti bahwa kehidupan benar-benar bisa tumbuh kembali di tanah yang pernah porak-poranda.
Desa Mixêriyê kini menjadi contoh kecil dari kebangkitan besar di pedesaan Kurdi. Tanpa menunggu bantuan besar, warga bergerak sendiri, membangun dengan tangan dan hati mereka. Setiap langkah kecil mereka menjadi bagian dari perjalanan panjang menuju pemulihan.
Para relawan lokal membantu sebisa mungkin, menyediakan alat tulis, pakaian, dan kebutuhan dasar. Namun semangat terbesar datang dari warga itu sendiri — dari keyakinan bahwa pulang ke rumah, meski berat, adalah satu-satunya jalan untuk benar-benar hidup kembali.
Malam hari di Mixêriyê kini tak lagi sunyi. Lampu minyak menyala di depan tenda-tenda, anak-anak membaca, dan orang tua berbincang tentang hari esok. Cahaya-cahaya kecil itu menjadi simbol harapan yang tak padam.
Banyak pengungsi di wilayah lain kini mulai terinspirasi oleh langkah warga Mixêriyê. Mereka melihat bahwa pulang ke kampung halaman, walau dengan kondisi berat, memberi ketenangan yang tidak tergantikan oleh kenyamanan semu di kamp pengungsian.
Warga Mixêriyê tahu, jalan menuju pemulihan masih panjang. Namun mereka juga tahu, setiap tenda yang berdiri di samping reruntuhan rumah adalah bukti bahwa kehidupan selalu menemukan cara untuk kembali.
Mereka membangun kembali bukan karena segalanya mudah, tetapi karena mereka tidak ingin menyerah. Setiap batu yang disusun, setiap tenda yang ditegakkan, adalah doa yang diwujudkan dalam tindakan.
Kini, desa yang dulu hanya tinggal nama mulai kembali terdengar. Di Gunung Kurdi, kehidupan perlahan bersemi di antara luka, dan harapan tumbuh lebih kuat dari sebelumnya.
Dan di setiap napas penduduk Mixêriyê, tersimpan keyakinan bahwa masa depan yang damai bukan hanya mimpi — melainkan sesuatu yang sedang mereka bangun dengan tangan sendiri, hari demi hari.
Harapan Baru di Gunung Kurdi, Suriah
Reviewed by peace
on
Oktober 16, 2025
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar