Di tengah hamparan padang pasir Tindouf,
ribuan warga Sahrawi berkumpul merayakan Hari Kesatuan Nasional. Upacara yang berlangsung di Wilayah Syahid Al-Hafiz itu menggambarkan semangat perjuangan yang tak pernah padam meski telah setengah abad berlalu sejak berdirinya pemerintahan mereka di pengasingan.
Perayaan ini digelar dengan penuh khidmat dan dihadiri oleh pejabat tinggi Republik Arab Sahrawi Demokratik (RASD) serta perwakilan dari Tentara Pembebasan Rakyat Sahrawi (SPLA). Mereka datang mengenakan seragam resmi dan pakaian tradisional daraa, memadukan nuansa militer dan budaya dalam satu panggung kebersamaan.
Video dokumentasi dari jurnalis Mohamed Radi Ellili memperlihatkan betapa terorganisirnya acara tersebut. Bendera Sahrawi berkibar di setiap sudut kamp, diiringi lagu-lagu revolusi dan yel-yel yang menegaskan pentingnya persatuan di antara rakyat yang telah hidup puluhan tahun di tanah pengungsian.
Di awal acara, para komandan keamanan menekankan peran vital aparat dalam menjaga stabilitas di kamp-kamp pengungsi. Mereka memuji keberanian pasukan keamanan yang disebut sebagai tameng rakyat Sahrawi dari segala ancaman luar maupun dalam.
Gendarmerie Nasional menjadi salah satu sorotan utama. Pasukan ini bertanggung jawab atas kepolisian administrasi dan militer, memastikan hukum ditegakkan bahkan di tengah kondisi serba terbatas di padang pasir. Keberadaan mereka menegaskan struktur pemerintahan yang terus berfungsi meski tanpa pengakuan internasional penuh.
Bagian lain dari perayaan menampilkan parade pasukan elite Sahrawi. Mereka melakukan demonstrasi taktis yang memukau, mulai dari pembebasan sandera hingga latihan antiteror. Penampilan ini bukan sekadar tontonan, melainkan simbol kesiapan militer menghadapi segala bentuk ancaman.
Unit lalu lintas dan keamanan umum turut memamerkan formasi mereka dalam menjaga ketertiban di wilayah kamp. Pos-pos pemeriksaan diperlihatkan sebagai contoh disiplin yang diterapkan untuk memastikan keamanan masyarakat tetap terjaga.
Peringatan ini bukan hanya tentang kekuatan bersenjata, tetapi juga tentang semangat persatuan. Dalam pidato resminya, para pemimpin menegaskan kembali komitmen terhadap kesatuan rakyat dan prinsip revolusi 20 Mei—hari yang menandai awal perjuangan bersenjata melawan pendudukan Maroko.
Wilayah Syahid Al-Hafiz sendiri memegang peranan penting dalam struktur sosial Sahrawi. Kawasan ini berfungsi sebagai pusat kegiatan politik dan administrasi, menjadi simbol kontinuitas perjuangan bagi generasi muda yang lahir dan tumbuh di pengasingan.
Suasana perayaan terlihat hangat dan penuh semangat. Anak-anak tampil membawa bendera kecil, sementara perempuan mengenakan pakaian tradisional warna-warni sebagai tanda kebanggaan nasional. Semua berpadu dalam satu pesan: Sahrawi tetap bersatu, apa pun yang terjadi.
Di sela acara, video juga menampilkan pameran dokumenter yang memperlihatkan perjalanan panjang rakyat Sahrawi sejak mereka meninggalkan tanah air pada 1975 akibat konflik bersenjata dengan Maroko. Gambar-gambar itu menggugah emosi, menggambarkan kehidupan keras di kamp namun penuh keteguhan.
Para veteran SPLA hadir memberi penghormatan kepada rekan-rekan yang gugur dalam perjuangan. Nama-nama pahlawan disebut satu per satu, disambut dengan pekikan “hidup revolusi!” oleh hadirin yang berdiri tegak.
Sementara itu, di tribun utama, para pejabat sipil menegaskan pentingnya solidaritas internasional bagi perjuangan mereka. Mereka menyerukan agar dunia tidak melupakan nasib rakyat Sahara Barat yang terus menuntut hak menentukan nasib sendiri.
Peringatan ini juga menjadi ajang untuk menegaskan bahwa pemerintahan Sahrawi tetap eksis di tengah pengasingan. Dengan struktur wilayah seperti El Aaiun, Awserd, Smara, Dakhla, Bojador, dan Rabouni sebagai pusat administrasi, kehidupan sosial politik tetap berjalan normal.
Wilayah Syahid Al-Hafiz—yang juga dikenal sebagai Wilayah 27 Februari—merupakan simbol kebangkitan. Di sinilah generasi muda Sahrawi dididik tentang sejarah perjuangan dan nilai-nilai revolusi. Mereka diajarkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar hak, melainkan tanggung jawab bersama.
Dalam setiap pidato, pesan yang disampaikan seragam: kesatuan adalah fondasi kekuatan. “Kita mungkin hidup di pengasingan, tapi kita tidak pernah kehilangan arah,” ujar salah satu tokoh masyarakat dalam tayangan video tersebut.
Perayaan ini juga menjadi pengingat bagi dunia bahwa isu Sahara Barat belum selesai. Di tengah perubahan geopolitik regional, rakyat Sahrawi masih menanti keadilan dan kemerdekaan yang dijanjikan resolusi PBB sejak lama.
Namun di balik semua itu, yang tampak jelas adalah keteguhan hati. Di kamp-kamp Al-Izzah dan Al-Karama, nama yang berarti “Kemuliaan” dan “Kehormatan,” rakyat Sahrawi menolak menyerah. Mereka tetap berdiri teguh mempertahankan identitas dan harapan.
Lima puluh tahun perjuangan bukan waktu yang singkat. Tetapi bagi rakyat Sahrawi, setiap tahun peringatan kesatuan nasional menjadi bukti bahwa mereka masih ada, masih bersatu, dan masih berjuang demi tanah yang mereka sebut sebagai Sahara Barat.
Wilayah Syahid Al-Hafiz pun kembali menjadi saksi sejarah. Di bawah langit Tindouf yang kering, gema lagu perjuangan menggema, menegaskan satu pesan sederhana namun mendalam: rakyat Sahrawi tidak akan pernah berhenti bersatu untuk kemerdekaan mereka.
Masa depan Republik Arab Sahrawi Demokratik (RASD) masih bergantung pada dinamika politik regional dan sikap komunitas internasional. Selama lebih dari empat dekade, rakyat Sahrawi hidup di pengasingan di kamp-kamp pengungsi Tindouf, Aljazair, sementara sebagian wilayah Sahara Barat tetap dikuasai Maroko. Meskipun PBB telah lama menyerukan referendum penentuan nasib sendiri, proses itu berulang kali tertunda akibat perbedaan pandangan antara pihak Maroko dan Front Polisario. Dalam situasi ini, nasib negara Sahrawi di masa depan masih terombang-ambing antara diplomasi yang stagnan dan harapan akan kebangkitan gerakan kemerdekaan.
Namun, generasi muda Sahrawi kini menjadi penentu arah baru. Mereka tumbuh dengan pendidikan politik dan nasionalisme yang kuat di kamp pengungsian, memahami bahwa perjuangan tidak hanya bersenjata, tetapi juga diplomatis dan intelektual. Keterlibatan mereka di forum internasional, universitas asing, serta dunia digital memberi ruang baru bagi perjuangan identitas Sahrawi. Jika mereka berhasil mengubah simpati global menjadi tekanan politik nyata terhadap kekuasaan Maroko, RASD mungkin bisa mendapatkan pengakuan lebih luas di masa depan.
Meski begitu, ancaman keletihan internasional terhadap isu Sahara Barat tidak bisa diabaikan. Banyak negara, demi kepentingan ekonomi dan keamanan regional, memilih menjalin hubungan pragmatis dengan Maroko. Hal ini membuat perjuangan Sahrawi semakin sulit, karena dukungan politik berkurang sementara kehidupan di kamp tetap keras. Jika diplomasi global terus mandek, kemungkinan besar Sahrawi akan tetap bertahan dalam status de facto negara tanpa wilayah yang diakui sepenuhnya.
Namun sejarah membuktikan bahwa bangsa yang bersatu dan sabar sering menemukan jalannya sendiri. Seperti Palestina dll di masa lalu, perjuangan panjang rakyat Sahrawi bisa saja berujung pada pengakuan, entah melalui perubahan geopolitik Afrika Utara atau kesadaran baru di dunia internasional. Selama semangat revolusi 20 Mei tetap menyala di hati mereka, negara Sahrawi akan terus hidup—setidaknya sebagai simbol keteguhan dan identitas di tengah dunia yang belum adil.
Hingga kini, Republik Arab Sahrawi Demokratik (RASD) diakui oleh lebih dari 40 negara di dunia, meskipun jumlah tersebut telah berfluktuasi seiring perubahan politik global. Sebagian besar pengakuan datang dari negara-negara Afrika seperti Aljazair, Mozambik, Angola, Namibia, Nigeria, dan Afrika Selatan, yang menilai perjuangan Sahrawi sejalan dengan semangat anti-kolonialisme di benua itu. RASD juga menjadi anggota penuh Uni Afrika sejak tahun 1984, yang membuat Maroko sempat menarik diri dari organisasi tersebut selama lebih dari tiga dekade sebelum akhirnya kembali pada 2017.
Di luar Afrika, beberapa negara di Amerika Latin dan Asia juga memberikan pengakuan diplomatik terhadap Sahrawi. Negara-negara seperti Kuba, Meksiko, Venezuela, Nikaragua, dan Bolivia telah lama menjadi pendukung utama perjuangan kemerdekaan Sahara Barat. Di Asia, Timor Leste, Vietnam, dan Korea Utara juga termasuk di antara negara yang mengakui RASD. Dukungan dari negara-negara ini biasanya bersifat ideologis dan solidaritas terhadap perjuangan rakyat yang mereka pandang tertindas oleh kolonialisme modern.
Namun, sejumlah negara yang pernah mengakui RASD kemudian menangguhkan atau mencabut pengakuannya setelah memperkuat hubungan ekonomi dan politik dengan Maroko. Contohnya termasuk beberapa negara Arab seperti Mesir, Yordania, dan Oman, serta sejumlah negara Afrika Barat seperti Senegal dan Chad. Meskipun demikian, keanggotaan RASD di Uni Afrika memberi legitimasi penting bahwa entitas ini tetap diakui secara regional sebagai sebuah negara yang sah, meski belum diterima luas di forum global seperti PBB.
Baca selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar